PART 1: REAL TIME POSITIVE
Beberapa waktu yang lalu bukanlah
hal yang mudah bagiku. Tak pernah sekalipun terbayang di benakku setelah hampir
setahun dunia sedang berjuang untuk pulih dari keadaan yang menyulitkan semua
orang tanpa terkecuali. Hampir setahun, aku menahan diri untuk terus berusaha
menjaga diri dan mengikuti segala arahan protokol kesehatan. Aku yang percaya
pada pandemi ini dan bahwa virus itu benar-benar ada dan cukup menyulitkan,
nyatanya aku kebobolan. Aku teledor, aku yang berpikir semua baik-baik saja
rupanya sedang tidak baik-baik saja. Saat itulah tamparan besar di akhir tahun
2020 telah memaksaku untuk beristirahat sejenak. Memaksaku untuk menyadari
betapa aku rupanya terlalu memaksa diri dengan kesibukan yang tiada henti
hingga tubuhku meronta kesakitan dan membuatku terpapar virus corona. Inilah
sepenggal cerita yang bisa kubagikan agar aku ingat tentang saat itu, tentang
kenangan, tentang segala memori di masa lalu sebagai sebuah pembelajaran yang
tak akan terlupakan.
--------------
24
Desember 2020
Menjelang
pagi, matahari mulai menampakan sinarnya, tepat saat itu aku mendengar suara ayam
milik tetanggaku berkokok. Kubuka mataku perlahan sembari menyiapkan hati untuk
segala kemungkinan yang akan terjadi. Ya benar, segala kemungkinan. Di hari
sebelumnya, aku menerima pesan dari salah satu teman yang mengatakan bahwa ia
sedang berada di Rumah Sakit untuk melakukan tes swab PCR mandiri. Entah apa
yang terjadi, aku masih berusaha mencerna kata-katanya di room chat Whatsapp
yang sejak beberapa jam sebelumnya kupandangi dengan wajah sedikit resah.
Sempat ia sampaikan bahwa seminggu lalu ia kontak erat dengan temannya yang
dinyatakan positif covid-19. Saat itu perasaanku sedikit takut tapi masih
berusaha untuk tenang dan mengutamakan memberi segala semangat yang kupunya
untuk temanku. Doaku menyertainya, menenangkannya dengan berkata “semoga
hasilnya baik, semua akan baik-baik saja.”
Setelah
aku melempar selimut, aku duduk dan berdoa pada Tuhan. Doa pagi yang cukup
lebih panjang dari biasanya. Setelah aku memantapkan hati, aku meraih HP yang
sedari malam paket data biasa aku matikan. Kurang lebih pukul 07.30 WIB, aku
membuka notifikasi grup Whatsapp yang mulai menumpuk dan memaksaku untuk segera
membukanya. Rupanya isi pesan yang kuterima bukanlah jawaban yang kuharapkan.
Pikiran kacau, hati yang mulai bergetar, dan pada akhirnya memaksaku meneteskan
air mata. Temanku dinyatakan positif covid-19 dan itu artinya aku merupakan
salah satu orang yang kemungkinan juga terpapar karena seminggu sebelumnya aku
beberapa kali sempat bertemu dengannya.
Sekiranya
hal ini betul terjadi pada circleku, sangat dekat denganku. Aku harus
bagaimana? Padahal beberapa hari sebelumnya orang tuaku datang dari Bali. Sudah
banyak rencana kami untuk Natal bersama dan merayakan tahun baru dengan cara
yang sederhana. Tapi kenyataan macam apa ini? Kenapa harus sekarang? Atau
kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu aja? Bagaimana dengan orang tuaku?
Apa yang harus kukatakan pada mereka? Saat itu pikiranku betul-betul kacau,
hatiku teriris dan menyesakkan. Selang beberapa jam, dengan gegabah dan jantung
yang berdetak kencang serta menekan, aku menghubungi teman dekatku yang juga
bersama denganku sempat kontak erat dengan teman yang terkonfirmasi positif. Kami
memutuskan untuk melakukan Swab PCR mandiri bersama-sama. Apapun hasilnya, aku
sudah pasrah. Setelah mencoba menarik nafas perlahan, dengan badan yang lesu, kaki
ini membawaku ke hadapan mama dan berkata dengan nada sedih berlinang air mata
tentang yang sejujurnya. Setelah membasuh diri, sesegera mungkin aku bersiap
menunggu jemputan dari temanku. Setelah temanku sampai di depan rumah, aku meraih
jaket dan tas yang bermodal dompet tipis sisa selembar uang pecahan berwarna
hijau. Aku segera berjalan menggunakan masker dan pakaian tertutup rapat
menapak halaman luar dan berangkat menuju rumah sakit dibonceng oleh temanku.
Di
jalan aku sempat mengatakan pada temanku “semua bakal baik-baik aja, semoga
hasil kita baik ya mba”. Di bangku motor, aku menyembunyikan tanganku yang
masih gemetar dan hatiku yang tercabik. Setibanya di rumah sakit pertama, aku
bertanya pada petugas yang lengkap dengan APD “Ada tes swab PCR?” Tanyaku.
“Ada” pungkas petugas itu. Tentu ada dengan harga menginjak 1 juta tapi harus
menunggu hasil sekitar seminggu. Aku dan temanku sempat terdiam dan akhirnya
memutuskan untuk mencari rumah sakit lain. Tak mungkin kami kuat menunggu hasil
hingga satu minggu, jelas beban dan penuh ketidakjelasan. Kemudian kami meneruskan
perjalanan ke rumah sakit kedua, tapi ternyata sudah tutup karena libur Natal.
Alangkah panik dan gemetarnya tubuh ini. Keringat sudah mengucur dibalik jaket
akibat lama berjalan kesana kemari di bawah panas matahari. Setelah mendapat
rekomendasi dari teman yang lain untuk tes di tanggal 25 Desember di salah satu
rumah sakit swasta dengan hasil keluar kurang lebih 12 jam, akhirnya aku
kembali ke rumah dengan tangan kosong.
Sesampainya
di rumah, aku langsung mandi besar dan mengurung diri di kamar dengan maksud
mengisolasi diri. Di rumah sekalipun aku menggunakan masker, memisahkan
peralatan makan dan minum, serta keluar kamar hanya untuk ke kamar mandi dan
mengambil makan saat yang lain tidak ada di ruang makan. Orang tuaku mulai
banyak mempersiapkan makanan bergizi dan wedang-wedangan jahe beserta
rempah-rempah yang katanya dipercaya bisa memulihkan kondisi dan meningkatankan
imun tubuh.
----------------------------------------------
25
Desember 2020
Pagi
hari pukul 08.00 WIB, kali ini dengan motor terpisah aku dan temanku berangkat
menuju RS swasta ke-3. Sejak pukul 09.00 WIB kami mengantri tanpa adanya
kejelasan. Kami cukup bersabar dan bertanya sana-sini terkait ketersediaan tes
Swab PCR, karena saat itu yang dilayani baru swab antigen. Setelah menyerahkan
formulir dan KTP, kami memutuskan pergi menelusuri kantin RS hendak mengisi
energi dengan sarapan pagi. Kami kembali tepat pukul 10.00 WIB dan bertanya di
bagian pendaftaran. Ada kejelasan? Tidak. Kami diminta pulang dan kembali
ketika malam menjelang. Karena hati yang semakin memanas, saat setengah jalan
menuju ke parkiran, aku memutar badan dan kembali menjelaskan bahwa kondisi
kami sangat urgent karena kami kontak erat dengan kasus terkonfirmasi positif.
Akhirnya
petugas pun nampak menghubungi entah siapa melalui sambungan telepon dan
ditutup dengan mengatakan jika kami bisa Swab PCR jam 13.00 WIB. Saat itu baru
pukul 11.00 WIB, kami memutuskan menunggu di RS agar segera lega begitu tes
sudah dilakukan. Lewat jam 13.00 WIB menuju 14.00 WIB, terdapat pengumuman yang
mengatakan jika tes Swab PCR diundur sampai 14.30 WIB karena Dokter ada
tindakan darurat. Kami menunggu, lelah, capek, perasaan cemas bersatu padu.
Hingga waktu terus berjalan dengan minim kejelasan. Hanya kata pasrah yang berusaha
aku lontarkan pada diri sendiri. Menjelang sore nama kami akhirnya dipanggil. Pukul
16.00 WIB, kami tes Swab PCR. Betul sekiranya kami menghabiskan +- 6 jam
lamanya. Kami kembali ke rumah masing-masing menerjang hujan yang sedari siang
tak kunjung reda.
26
desember 2020
Pagi
itu jam masih menunjukkan pukul 06.00 WIB, ya hari itu saat dimana aku sudah
pasrah dengan segala kondisi yang akan kuhadapi. Sesegera mungkin setelah
berdoa pagi, aku meraih hp yang tergeletak di atas kepalaku. Setelah kuhidupkan
data seluler, segera saja notifikasi chat WA dari Rumah Sakit terpampang jelas
di layar hpku. Tanganku bergetar saat mencoba mengunduh file hasil Swab PCR.
Saat file berhasil terbuka, betapa terkejutnya aku. Perasaan yang bercampur
sedih, marah, dan kecewa sudah memenuhi sekujur tubuhku. Inilah takdirku, tepat
di hari itu aku terkonfirmasi positif covid-19. Bingung? jelas. Entah harus
bilang pada siapa. Aku hanya jujur pada keluargaku agar mereka segera menjauh
dariku. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari mencoba menghubungi
pihak-pihak terkait.
Berbekal
informasi dari teman pertama yang terkonfirmasi positif, aku segera menghubungi
satuan gugus tugas (satgas) covid-19 yang menangani temanku yang pertama kali
terkonfirmasi positif. Atas saran satgas itu, aku diminta menghubungi satgas
kampus, namun nampaknya kampusku tidak siap menangani mahasiswanya jika
terkonfirmasi positif. Tidak ada solusi yang diberikan, aku hanya diminta
update kondisi dan menceritakan kronologi. Tidak ada kata empati yang
menenangkanku hingga aku merasa sebaiknya aku perlu menghubungi pihak satgas
lain, mengingat RS tempat aku tes Swab PCR juga tidak memberikan fasilitas
untuk penanganan lanjutan. Jika ingin konsultasi, aku harus datang ke RS itu
lagi dan mengeluarkan biaya konsultasi pada umumnya. Pada akhirnya, aku mencoba
menghubungi satgas puskesmas setempat. Setelah menjelaskan kondisi yang
terhitung aku termasuk Orang Tanpa Gejala (OTG) dengan gejala ringan seperti
tenggorokan gatal dan sedikit lesu, satgas puskesmas menjadwalkan aku untuk
dirujuk ke pusat isolasi covid-19 Yogyakarta yang bertempat di Asrama Haji
Yogyakarta Ring Road Utara.
Di
hari itu juga, aku sibuk menghubungi orang-orang yang sempat bertemu denganku
seminggu terakhir sebelum aku dinyatakan positif. Kenapa aku melakukannya? Sebagai
bentuk tanggung jawab. Aku meminta mereka yang kontak erat denganku untuk memperhatikan
kondisi, menjaga kesehatan, serta meminta mereka untuk sementara waktu tidak bepergian
agar kemungkinan penularan bisa dicegah. Setelah aku berpikir dan
mengingat-ingat, untungnya tak banyak orang yang kutemui. Sekalipun aku
bertemu, mereka terhitung tidak kontak erat denganku. Orang di luar rumahku
bisa jadi lebih aman, dibanding orang di dalam rumahku. Lantas bagaimana nasib
keluargaku? Beban terberatku sebetulnya bukan tentang kondisiku pribadi, tapi aku
takut jika aku menularkannya pada anggota keluarga terutama orang tuaku yang
terhitung usia rentan. Aku takut, aku sedih, pikiranku terbeban dengan itu
semua. Ingin cepat-cepat rasanya aku betul-betul diisolasi di tempat asing itu.
Meskipun juga takut dengan kondisi di sana di mana harus menjadi satu tempat
dengan mereka yang juga terpapar, tapi setidaknya keluargaku aman. Setidaknya di
tempat isolasi, mereka juga sama-sama sedang berjuang untuk sembuh sama seperti
apa yang kurasakan saat itu. Mungkin saja aku bisa merasa tidak sendiri? itulah
yang kupikirkan saat itu.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar