Minggu, 14 Februari 2021

#24 Istirahat Sejenak: Sepenggal Cerita di Penghujung Tahun pt 1


PART 1: REAL TIME POSITIVE

            Beberapa waktu yang lalu bukanlah hal yang mudah bagiku. Tak pernah sekalipun terbayang di benakku setelah hampir setahun dunia sedang berjuang untuk pulih dari keadaan yang menyulitkan semua orang tanpa terkecuali. Hampir setahun, aku menahan diri untuk terus berusaha menjaga diri dan mengikuti segala arahan protokol kesehatan. Aku yang percaya pada pandemi ini dan bahwa virus itu benar-benar ada dan cukup menyulitkan, nyatanya aku kebobolan. Aku teledor, aku yang berpikir semua baik-baik saja rupanya sedang tidak baik-baik saja. Saat itulah tamparan besar di akhir tahun 2020 telah memaksaku untuk beristirahat sejenak. Memaksaku untuk menyadari betapa aku rupanya terlalu memaksa diri dengan kesibukan yang tiada henti hingga tubuhku meronta kesakitan dan membuatku terpapar virus corona. Inilah sepenggal cerita yang bisa kubagikan agar aku ingat tentang saat itu, tentang kenangan, tentang segala memori di masa lalu sebagai sebuah pembelajaran yang tak akan terlupakan.

--------------

24 Desember 2020

Menjelang pagi, matahari mulai menampakan sinarnya, tepat saat itu aku mendengar suara ayam milik tetanggaku berkokok. Kubuka mataku perlahan sembari menyiapkan hati untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. Ya benar, segala kemungkinan. Di hari sebelumnya, aku menerima pesan dari salah satu teman yang mengatakan bahwa ia sedang berada di Rumah Sakit untuk melakukan tes swab PCR mandiri. Entah apa yang terjadi, aku masih berusaha mencerna kata-katanya di room chat Whatsapp yang sejak beberapa jam sebelumnya kupandangi dengan wajah sedikit resah. Sempat ia sampaikan bahwa seminggu lalu ia kontak erat dengan temannya yang dinyatakan positif covid-19. Saat itu perasaanku sedikit takut tapi masih berusaha untuk tenang dan mengutamakan memberi segala semangat yang kupunya untuk temanku. Doaku menyertainya, menenangkannya dengan berkata “semoga hasilnya baik, semua akan baik-baik saja.”

Setelah aku melempar selimut, aku duduk dan berdoa pada Tuhan. Doa pagi yang cukup lebih panjang dari biasanya. Setelah aku memantapkan hati, aku meraih HP yang sedari malam paket data biasa aku matikan. Kurang lebih pukul 07.30 WIB, aku membuka notifikasi grup Whatsapp yang mulai menumpuk dan memaksaku untuk segera membukanya. Rupanya isi pesan yang kuterima bukanlah jawaban yang kuharapkan. Pikiran kacau, hati yang mulai bergetar, dan pada akhirnya memaksaku meneteskan air mata. Temanku dinyatakan positif covid-19 dan itu artinya aku merupakan salah satu orang yang kemungkinan juga terpapar karena seminggu sebelumnya aku beberapa kali sempat bertemu dengannya.

Sekiranya hal ini betul terjadi pada circleku, sangat dekat denganku. Aku harus bagaimana? Padahal beberapa hari sebelumnya orang tuaku datang dari Bali. Sudah banyak rencana kami untuk Natal bersama dan merayakan tahun baru dengan cara yang sederhana. Tapi kenyataan macam apa ini? Kenapa harus sekarang? Atau kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu aja? Bagaimana dengan orang tuaku? Apa yang harus kukatakan pada mereka? Saat itu pikiranku betul-betul kacau, hatiku teriris dan menyesakkan. Selang beberapa jam, dengan gegabah dan jantung yang berdetak kencang serta menekan, aku menghubungi teman dekatku yang juga bersama denganku sempat kontak erat dengan teman yang terkonfirmasi positif. Kami memutuskan untuk melakukan Swab PCR mandiri bersama-sama. Apapun hasilnya, aku sudah pasrah. Setelah mencoba menarik nafas perlahan, dengan badan yang lesu, kaki ini membawaku ke hadapan mama dan berkata dengan nada sedih berlinang air mata tentang yang sejujurnya. Setelah membasuh diri, sesegera mungkin aku bersiap menunggu jemputan dari temanku. Setelah temanku sampai di depan rumah, aku meraih jaket dan tas yang bermodal dompet tipis sisa selembar uang pecahan berwarna hijau. Aku segera berjalan menggunakan masker dan pakaian tertutup rapat menapak halaman luar dan berangkat menuju rumah sakit dibonceng oleh temanku.

Di jalan aku sempat mengatakan pada temanku “semua bakal baik-baik aja, semoga hasil kita baik ya mba”. Di bangku motor, aku menyembunyikan tanganku yang masih gemetar dan hatiku yang tercabik. Setibanya di rumah sakit pertama, aku bertanya pada petugas yang lengkap dengan APD “Ada tes swab PCR?” Tanyaku. “Ada” pungkas petugas itu. Tentu ada dengan harga menginjak 1 juta tapi harus menunggu hasil sekitar seminggu. Aku dan temanku sempat terdiam dan akhirnya memutuskan untuk mencari rumah sakit lain. Tak mungkin kami kuat menunggu hasil hingga satu minggu, jelas beban dan penuh ketidakjelasan. Kemudian kami meneruskan perjalanan ke rumah sakit kedua, tapi ternyata sudah tutup karena libur Natal. Alangkah panik dan gemetarnya tubuh ini. Keringat sudah mengucur dibalik jaket akibat lama berjalan kesana kemari di bawah panas matahari. Setelah mendapat rekomendasi dari teman yang lain untuk tes di tanggal 25 Desember di salah satu rumah sakit swasta dengan hasil keluar kurang lebih 12 jam, akhirnya aku kembali ke rumah dengan tangan kosong.

Sesampainya di rumah, aku langsung mandi besar dan mengurung diri di kamar dengan maksud mengisolasi diri. Di rumah sekalipun aku menggunakan masker, memisahkan peralatan makan dan minum, serta keluar kamar hanya untuk ke kamar mandi dan mengambil makan saat yang lain tidak ada di ruang makan. Orang tuaku mulai banyak mempersiapkan makanan bergizi dan wedang-wedangan jahe beserta rempah-rempah yang katanya dipercaya bisa memulihkan kondisi dan meningkatankan imun tubuh.

----------------------------------------------

25 Desember 2020

Pagi hari pukul 08.00 WIB, kali ini dengan motor terpisah aku dan temanku berangkat menuju RS swasta ke-3. Sejak pukul 09.00 WIB kami mengantri tanpa adanya kejelasan. Kami cukup bersabar dan bertanya sana-sini terkait ketersediaan tes Swab PCR, karena saat itu yang dilayani baru swab antigen. Setelah menyerahkan formulir dan KTP, kami memutuskan pergi menelusuri kantin RS hendak mengisi energi dengan sarapan pagi. Kami kembali tepat pukul 10.00 WIB dan bertanya di bagian pendaftaran. Ada kejelasan? Tidak. Kami diminta pulang dan kembali ketika malam menjelang. Karena hati yang semakin memanas, saat setengah jalan menuju ke parkiran, aku memutar badan dan kembali menjelaskan bahwa kondisi kami sangat urgent karena kami kontak erat dengan kasus terkonfirmasi positif.

Akhirnya petugas pun nampak menghubungi entah siapa melalui sambungan telepon dan ditutup dengan mengatakan jika kami bisa Swab PCR jam 13.00 WIB. Saat itu baru pukul 11.00 WIB, kami memutuskan menunggu di RS agar segera lega begitu tes sudah dilakukan. Lewat jam 13.00 WIB menuju 14.00 WIB, terdapat pengumuman yang mengatakan jika tes Swab PCR diundur sampai 14.30 WIB karena Dokter ada tindakan darurat. Kami menunggu, lelah, capek, perasaan cemas bersatu padu. Hingga waktu terus berjalan dengan minim kejelasan. Hanya kata pasrah yang berusaha aku lontarkan pada diri sendiri. Menjelang sore nama kami akhirnya dipanggil. Pukul 16.00 WIB, kami tes Swab PCR. Betul sekiranya kami menghabiskan +- 6 jam lamanya. Kami kembali ke rumah masing-masing menerjang hujan yang sedari siang tak kunjung reda.

26 desember 2020

Pagi itu jam masih menunjukkan pukul 06.00 WIB, ya hari itu saat dimana aku sudah pasrah dengan segala kondisi yang akan kuhadapi. Sesegera mungkin setelah berdoa pagi, aku meraih hp yang tergeletak di atas kepalaku. Setelah kuhidupkan data seluler, segera saja notifikasi chat WA dari Rumah Sakit terpampang jelas di layar hpku. Tanganku bergetar saat mencoba mengunduh file hasil Swab PCR. Saat file berhasil terbuka, betapa terkejutnya aku. Perasaan yang bercampur sedih, marah, dan kecewa sudah memenuhi sekujur tubuhku. Inilah takdirku, tepat di hari itu aku terkonfirmasi positif covid-19. Bingung? jelas. Entah harus bilang pada siapa. Aku hanya jujur pada keluargaku agar mereka segera menjauh dariku. Aku mengurung diri di dalam kamar sembari mencoba menghubungi pihak-pihak terkait.

Berbekal informasi dari teman pertama yang terkonfirmasi positif, aku segera menghubungi satuan gugus tugas (satgas) covid-19 yang menangani temanku yang pertama kali terkonfirmasi positif. Atas saran satgas itu, aku diminta menghubungi satgas kampus, namun nampaknya kampusku tidak siap menangani mahasiswanya jika terkonfirmasi positif. Tidak ada solusi yang diberikan, aku hanya diminta update kondisi dan menceritakan kronologi. Tidak ada kata empati yang menenangkanku hingga aku merasa sebaiknya aku perlu menghubungi pihak satgas lain, mengingat RS tempat aku tes Swab PCR juga tidak memberikan fasilitas untuk penanganan lanjutan. Jika ingin konsultasi, aku harus datang ke RS itu lagi dan mengeluarkan biaya konsultasi pada umumnya. Pada akhirnya, aku mencoba menghubungi satgas puskesmas setempat. Setelah menjelaskan kondisi yang terhitung aku termasuk Orang Tanpa Gejala (OTG) dengan gejala ringan seperti tenggorokan gatal dan sedikit lesu, satgas puskesmas menjadwalkan aku untuk dirujuk ke pusat isolasi covid-19 Yogyakarta yang bertempat di Asrama Haji Yogyakarta Ring Road Utara.

Di hari itu juga, aku sibuk menghubungi orang-orang yang sempat bertemu denganku seminggu terakhir sebelum aku dinyatakan positif. Kenapa aku melakukannya? Sebagai bentuk tanggung jawab. Aku meminta mereka yang kontak erat denganku untuk memperhatikan kondisi, menjaga kesehatan, serta meminta mereka untuk sementara waktu tidak bepergian agar kemungkinan penularan bisa dicegah. Setelah aku berpikir dan mengingat-ingat, untungnya tak banyak orang yang kutemui. Sekalipun aku bertemu, mereka terhitung tidak kontak erat denganku. Orang di luar rumahku bisa jadi lebih aman, dibanding orang di dalam rumahku. Lantas bagaimana nasib keluargaku? Beban terberatku sebetulnya bukan tentang kondisiku pribadi, tapi aku takut jika aku menularkannya pada anggota keluarga terutama orang tuaku yang terhitung usia rentan. Aku takut, aku sedih, pikiranku terbeban dengan itu semua. Ingin cepat-cepat rasanya aku betul-betul diisolasi di tempat asing itu. Meskipun juga takut dengan kondisi di sana di mana harus menjadi satu tempat dengan mereka yang juga terpapar, tapi setidaknya keluargaku aman. Setidaknya di tempat isolasi, mereka juga sama-sama sedang berjuang untuk sembuh sama seperti apa yang kurasakan saat itu. Mungkin saja aku bisa merasa tidak sendiri? itulah yang kupikirkan saat itu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

#31 Belum Terlambat Memilihmu

Maaf karena aku terlambat menyadari rasamu kepadaku. Aku hanya terbiasa dengan hari-hari yang dihabiskan bersamamu. Kalau saja aku sadar leb...